Dikotomi Sikap Hati dan Action : Obat Pergejolakan Batin Kaula Muda
Sebelum masuk ke tulisan, gua pesan supaya jangan terlalu serius baca judulnya, ya. Nongkrong di sini gak seserius itu, kok, hehe.
Wajar rasanya bila di usia muda kita seringkali mengalami pergejolakan batin yang kerap mengganggu waktu tidur. Gua sangat mengamini itu, sebab selain gua rasain itu sendiri, beberapa bulan terakhir ajakan-ajakan ngobrol, curcol, minta saran, nasihat, ajakan maling ayam, naek tulkun, nyaleg, dll cukup banyak masuk, baik lewat sosmed ataupun di meja-meja kopi. Bahan obrolannya pun cukup beragam, mulai dari pembahasan tentang kerja cari rezeki, perbuatan-perbuatan yang katanya sudah diatur takdir, sampai insecurity. Menariknya, gua seolah menemukan satu jawaban yang dapat meneduhkan gejolak permasalahan yang beragam itu. Tapi, meski mungkin beberapa dari kalian merasa kesemuanya memiliki kaitan dengan takdir, di kesempatan ini gua gak bakal banyak membahas itu, insyaAllah mau gua coba bahas di lain tulisan, kalo gak mager. Seperti judulnya, tulisan ini lebih membahas tentang hal praktis yang gua yakini bisa sedikit membantu klean, so, laik komen en subrek.
Oke, lanjut.
Ini semua tentang dikotomi—tapi bukan dikotominya filosofi teras. Sebagaimana dikotomi yang berarti pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan (nyomot dari KBBI), di tulisan ini pun gua akan membagi sikap manusia menjadi dua kelompok, yaitu antara sikap batiniah yang gua sebut sikap hati, dan sikap lahiriah yang gua sebut action. Sikap pertama, atau sikap hati yang sangat berkaitan dengan perasaan, suatu hal yang manusia tidak akan pernah bisa meminggirkan unsur ini dalam hidupnya. Hendak gua pisah dengan sikap kedua, yaitu perbuatan secara lahiriah kita dalam keseharian. Ini bukan berarti kita akan bertindak secara hipokritis (munafik kata orang-orang), sebab dikotomi ini terjadi dalam interaksi antara diri kita dengan diri kita sendiri. Lah, kok bisa? Bisa, kok.
Tentu tulisan ini tidak berangkat dari kertas kosong, bila kita mampu melihat lebih cermat, Rasulullah sebagai panutan umat muslim seringkali mencotohkan pada kita terkait hal ini. Contohnya, dapat kita temukan dalam perintahnya agar kita memiliki sikap zuhud, meninggalkan kecintaan terhadap dunia, meyakini bahwa rezeki sudah diatur oleh yang Maha kaya. Tapi di sisi lain, berdagang dan mencari rezeki adalah sunnahnya, dan ia pun memerintahkan umatnya untuk berbuat demikian. Sekilas mungkin kita melihat dua hal tadi sebagai sebuah kontradiksi, namun tidak bila kita memakai kacamata dikotomi ini untuk memahami fenomena tersebut. Kita perlu memahami bahwa hal-hal yang disebutkan pertama adalah sikap hati yang Rasul perintahkan (zuhud dll), sementara setelahnya adalah action yang diajarkan dan wajib kita ikuti (mencari rezeki). Tentu hal yang salah bila kita merasa bahwa Islam mengajarkan kita berpangku tangan dengan dalih rezeki sudah diatur, meninggalkan cinta dunia, dan lain-lain.
Hal yang sama berlaku dalam segala macam urusan, pekerjaan dan tanggung jawab. Baik buruknya hasil pekerjaan kita, sebagai seorang muslim tentu kita dituntut untuk mengimani bahwa semua terjadi atas kuasa, ketentuan dan kehendak Allah SWT., lalu apakah benar bila kita berserah begitu saja dengan dalih tersebut? Tentu tidak. Sebab nabi kita bersabda:
إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
Hadits ini menunjukan bahwa Allah mencintai hambanya yang totalitas dalam bekerja, ini menjadi bukti bahwa sikap sebelumnya merupakan sikap yang salah dalam kacamata Islam. Sebab mengimani takdir adalah sikap hati, sementara totalitas dalam segala sesuatu merupakan action yang harus dilakukan.
Tak hanya sampai di situ, dalam menghadapi insecurity pun dikotomi ini dapat sangat membantu. Namun perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud di sini adalah salah satu bentuk insecurity yang membuat seseorang memandang rendah diri saat dibanding dengan orang lain, hal ini menimbulkan rasa iri dan menjauhkan kita dari sifat bersyukur. Sampai saat ini, gua meyakini bahwa hal itu adalah cerminan dari perasaan seseorang yang merasa kalah. Uniknya, Perasaan kalah tersebut hanya bisa timbul akibat adanya terlebih dahulu perasaan superior atau perasaan lebih baik dari yang lain, hingga saat ia menemukan sosok yang dinilai melebihnya, ia merasa kalah dan hatinya tak tenang (follow ige gua kalo lu setuju). Karena itu, seindah apapun paras seseorang, sekeren apapun perjalanan hidupnya, bila ia belum menyadari ini, ia tetap dapat terjerumus dalam insecurity. Ngeri, kan, Geisss.
Agar terlepas dari bentuk insecure yang satu ini, kita perlu memahami antara sikap hati yang perlu kita ambil dan action yang perlu kita lakukan. Satu-satunya saran yang bisa gua suguhin di depan klean adalah saran yang penuh dengan nuansa Islami. Apa itu? Jadilah orang Arab, etss, nggak, dong. Oke, serius. Kita perlu meyakini dan mengambil sikap bahwa kita memang makhluk lemah dan penuh kekurangan, kita tidaklah lebih baik dari siapapun. Dengan ini tentu kita tidak akan merasa keberatan dan iri dengan kelebihan-kelebihan yang orang lain miliki, entah itu paras, prestasi, jumlah dosa, dll. Sebab sedari awal kita memang merasa bahwa kita tidak lebih baik dari orang-orang itu, sehingga suasana bahwa kita tidak sedang berkompetisi dengan mereka akan terbangun, dengannya bahkan kita dapat ikut merasakan kesenangan dengan hati yang lebih tenang atas kelebihan-kelebihan yang mereka miliki.
Tapi apakah cukup sampai di situ? Tentu tidak. Sangat disayangkan banyak dari kita yang mencukupkan diri pada perbaikan sikap hati dan meninggalkan unsur lain yang sama pentingnya, yaitu action. Hal ini berpotensi menjerumuskannya pada masalah lain yang tak kalah besar, yaitu menjadi pasif, pesimistis dan rendah diri. Itu semua karena mereka tidak memisahkan kedua unsur tersebut, sehingga peran dan nilai keduanya menjadi samar serta seringkali kusut, bagai dua benang yang terlilit dan sulilt dibedakan. Maka hal yang harus kita lakukan setelah itu sebagai action adalah berusaha sebaik mungkin untuk terus memperbaiki diri, tak bosan berkontemplasi dan evaluasi diri, melihat kelebihan dan pencapaian orang lain sebagai sebuah pelajaran dan motivasi agar dapat melakukan hal yang sama, dengan itu kita akan terus berkembang. Tentu tanpa terjangkit penyakit-penyakit hati yang —tipis-tipis— disinggung di atas.
Dari semua permisalan yang telah disajikan, gua harap sudah tergambar jelas bagaimana dikotomi ini berperan —kalo belum, yaudah, lah, ya, bingung juga gua. Dengan dikotomi ini, kita dapat terlepas dari hal-hal yang mengganggu ketenangan hati dan di waktu yang sama maksimal dalam berbagai lini perkembangan diri. Sebab sikap hati yang benar akan membentengi kita dari sikap sombong dan tinggi hati atas pencapaian ataupun kelebihan yang kita miliki, dan di sisi lain membentengi kita dari sikap putus asa dan iri atas kegagalan serta kekurangan yang dimiliki, karena kita yakin bahwa kita makhluk yang lemah dan semua terjadi atas kehendak serta ketentuan Allah yang mahakuasa. Di akhir tulisan ini, gua mau nantang klean buat mengaplikasikan dikotomi ini dalam problematika lain selain yang disebut di atas, dan kalo udah berhasil jangan sungkan DM gua di Instagram, yaww.
Bantu share kalo tulisan ini dirasa bermanfat.
Salam hangat
Sahabatmu, ar Razy ~
Lanjutkan anak muda
BalasHapusTerimakasih, Bungg.
HapusNetizen wajib baca ! 😅
HapusYuk share yukk
Hapus