Hidup Gue Berat, Gue Ga Punya Alasan Buat Bahagia
“Gue yatim dari kecil, keluarga mulai berantakan ketika ibu mulai sakit-sakitan. Gue yang
selalu dapet tagihan SPP, gue yang udah jelas buat kebutuhan primer aja kadang
gak kepenuhin, gue yang boro-boro bisa tampil fresh ke sekolah selalu
dilirik sinis karena itu semua. Hey, dunia gak adil!.”
“Orang tua gw
gak pernah peduliin gue, dari kecil gue diasuh sama si bibi, mereka ga
pernah punya waktu luang buat gue. Ulang tahun gue dirayain besar-besaran di
rumah, tapi mereka dateng cuma ucapin selamat ke gue terus keluar lagi sambil ga
jelas ngomongin apaan di handphone. “Ayah kan kerja buat kamu juga nak” bosen
gue dengernya!. Kadang gue iri liat story temen-temen yang hidupnya sederhana tapi waktu mereka penuh sama keluarga.
Bahagia banget. Hey, dunia
gak adil!.”
“ett ni kenapa
si muka gue, jerawat mulu kayanya, udah coba pake macem-macem perawatan sama aja
hasilnya, udah abis berapa duit gue. Giliran dia kinclong mulu, udah
tinggi cakep lagi. Hey dunia gak adil!”
Dunia gak
adil, gimana gue bisa bahagia?.
Hidup secara
nyata mengajarkan bahwa teman yang abadi adalah masalah, lu kaya masalah, lu
susah masalah, muka lu pas-pasan masalah, duit jatah jajan ke kantin lupa gak
dikasih emak masalah, hp heng gara-gara dipake main mobile
legend masalah, kuota lu abis buat baca tulisan aneh unfaedah ini
juga masalah, cewe lu bilang lu terlalu baik juga... ehem, masalah. Masalah dan
kehidupan seolah-olah pasangan yang setiap orang gak tahu kapan resepsinya
tau-tau udah punya anak, terus mereka kasih nama rasa cemas. Dan anaknya ini
yang kemudian diasumsikan oleh banyak orang sebagai penangkal kebahagiaan.
Ok lu punya
masalah, terlahir dari keluarga yang kekurangan misalnya, ataupun keluarga sultan
yang kayanya udah lupa sama muka anaknya, atau mungkin tentang jerawat lu itu
yang gak tau diri berpose di atas jidat. Terus? Mayoritas manusia berpikir
bahwa kebahagiaan datang dari hal-hal yang kita capai, hal-hal berkilau dan
menunjukan kenyamanan, pengakuan dan hal-hal prestisius yang didambakan banyak orang. Jauh kita berlari untuk menggapainya tanpa
tahu sebenarnya kebahagiaan justru terletak di dalam.
Terlahir di
keluarga kekurangan, dipecat bos, dan setiap kejadian
lain yang menimpa merupakan hal-hal yang diluar kendali
kita, yang (sebenarnya) datangnya tidak membawa pengklasifikasian tentang baik
dan buruknya. Pengklasifikasian ini timbul dan dikonfirmasi oleh bagaimana kita
melihat dan menyikapi, kita sendiri yang akhirnya melabeli kejadian ini baik
dan itu buruk. Kaum stoic (penganut aliran stoisisme) dengan ketajaman insightnya
melihat bahwa setiap perkara yang terjadi seluruhnya bersifat indifferent atau
netral, sugesti kita lah yang akhirnya membuatnya menjadi positif ataupun
negatif.
Contoh
sederhananya ketika lu dapet banyak tugas dan gak sempet makan malam di bakso
langganan. Otak cenat, perut cenut, hati cenat-cenut. “elah gak ada kerjaan
banget dosen, tugas segini banyaknya masa harus dikumpulin sejam lagi. Bakso
pak sarimo kan tutup entar lagi.”; buruk. “gak apa-apa lah malem ini gak makan bakso, istirahatin dulu perut, siapa
tau kalo gw makan bakso besok mencret”; baik.
Hal ini
sejalan dengan apa yang diajarkan oleh islam kepada umatnya, karena itu kita
tak asing lagi mendengar seseorang berkata bahwa itu (kejadian yang berkonotasi
negatif) adalah bala, harta itu juga bala, sehat itu nikmat, diberi penyakit
pun nikmat. Semua kembali kepada bagaimana kita menyikapinya. Dalam artikel Memahami
Dua Makna Bala tertulis, “Imam
al-Raziy dalam kitab Mukhtar al-Shihab juga memberikan penjelasan bahwa bala
memang digunakan untuk menggambarkan ujian baik atau buruk.” Dan pelabelan baik
dan buruknya ujian itu kembali pada penilaian kita terhadapnya.
Terus gimana
caranya bahagia? Penulis sok tau amat, emangnya lu orang paling bahagia gitu?
Nah ini
kuncinya. Hal-hal yang disebut di atas – yang dijadikan oleh mayoritas orang
sebagai alasan ketidakbahagiaan mereka – merupakan hal-hal yang diluar kendali
kita. Menggantungkan kebahagiaan di sana hanya akan membuka pintu kesedihan.
Ketika yang diharapkan tidak tercapai, ketika yang dihindari terjadi, timbullah
rasa cemas, dan rasa cemas itu menggiring kita pada kehidupan yang tidak
tenang. Fokuslah pada apa yang bisa kita kendalikan; persepsi kita, akal,
sugesti. Kendalikan mereka disetiap keadaan. Karena kebahagiaan itu ketika kita
untroubled, tiadanya gangguan, jiwa yang tenang dan damai, free from
emotions, suffering, and all passions. Dengan menerapkan prinsip ini maka
hidup akan terasa lebih ceria, tenang dan damai. Fokus saja melatih apa yang bisa
kita kendalikan, sisanya biarlah mereka berjalan sesuai hukum alam.
Pernah
sekali penulis mendapat kesempatan untuk mengasah prinsip ini. Ketika itu di Jambi
di sebuah lomba nasional yang diadakan oleh KEMENAG, penulis terseleksi menjadi
salah satu diantara 34 orang yang mendapatkan golden ticket - kesempatan
untuk pergi berkeliling 5 negara ASEAN selama 15 hari, FULLY FUNDED!.- (gila
gak sih, gue bisa naek pesawat buat ikut lomba aja udah seneng banget. 5 negara?
Wuuu) bahagia? Pasti. Kita semua dijanjikan akan berangkat beberapa bulan
setelah lomba ditutup.
Lomba usai, penulis terbang pulang ke jawa
timur(sengaja pake ‘terbang’ biar lo semua tau gw pake pesawat), kembali ke
pesantren. Sampai di sana ada banner besar berfotokan penulis disertai
ucapan selamat terpampang (buset, gue viral nih?). Banyak WAG(whatsapp group)para guru
yang membagikan berita ini, dewan alumni pun turut serta menyebarkan, ucapan selamat
datang dari berbagai macam kalangan(sekaligus minta oleh-oleh). Ok, penulis
bahagia.
Selang
beberapa bulan, keberangkatan belum juga ditegaskan kapan akan terlaksana,
mereka yang mengucapkan selamat kini terlihat bersimpati (gue kayanya
biasa-biasa aja sih). “Kapan berangkat?” (ya kira-kira gitu lah) pembuka
percakapan sehari-hari. Dan kini terhitung satu tahun sudah tanpa kejelasan
apapun. Penulis masih bahagia, penulis benar-benar menikmati berbulan-bulan
membayangkan akan menjelejah negri-negri sebrang, tapi kebahagiaan penulis tidak
berkurang sedikitpun saat memikirkan kemungkinan tidak terlaksananya acara ini, penulis percaya bahwa terseleksinya penulis,
jadi atau tidaknya event ini merupakan hal-hal yang di luar kendali.
Bila hal itu bisa datang, maka bukan mustahil hal itu bisa pergi. Penulis yang
besar di dalam keluarga agamis berpikir bahwa yang Mahaesa berkuasa untuk
memberikan kesempatan ini, maka ia pun berkuasa untuk kembali menariknya. Tak
ada hal yang dipusingkan. Penulis tetap bahagia dengan persepsi bahwa penulis
berhasil menjadi pribadi yang lebih baik karena kesempatan ini,- berangkat-gak
berangkat ya terserahlah(bukannya sok kaya gais hehe...)-.
Maka fokus
lah pada apa yang bisa kita kendalikan, jangan gantungkan kebahagiaan kita
kepada hal-hal yang kapanpun bisa saja hilang. Kendalikan persepsi, menej emosi.
Bahagia lah di situasi apapun, mari kita benar-benar menikmati hidup.
Salam hangat
sahabatmu,
ar razy.
Mantap lah pokoknya. Lanjutkan
BalasHapusMakasih kawan
HapusBagus,ngemotivasiin bgt ka😂
BalasHapusMakasih ya
HapusYang istiqomah lu ya... Nulisnya... Jgn ampe brenti di tengah.. smangat teroooos
BalasHapusSiapppp
Hapus