POSITIVE THINKING POSITIF?


Banyak sekali tulisan yang membahas tentang pentingnya berpikir positif. Dari berbagai macam perspektif dikemukakan bahwa positive thinking merupakan jalan menuju hidup sukses dan bahagia. Namun ada beberapa tulisan yang ‘melawan arus’ dan membuat tertarik penulis untuk membahasnya di blog ini(sebelum kita lanjut ke pembahasan, silahkan perbaiki posisi duduk kalian, rileks, dan pada hitungan ketiga kalian akan…santai).
Ada beberapa tulisan -salah satunya apa yang terkandung dalam buku The Secret- yang mengklaim bahwa dengan sekedar berpositive thingking sembari mengandai dan mendambakan apa yang kita inginkan akan menimbulkan perubahan yang searah dengan apa yang kita mau!.(setelah tau itu gue pun mulai berandai untuk nikahin kapten marvel…Dan temen-temen gue mulai berprinsip "push prank aja terus, intinya mah yakin masa depan kita sukses").
Seiring dengan perkembangan zaman(yang sekarang udah zaman now) ilmuwan justru menemukan adanya potensi negatif hasil dari positive thinking . Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa orang-orang yang mengejar tujuannya dengan melakukan positive thinking cenderung memperoleh hasil yang lebih buruk ketimbang mereka yang tidak melakukannya. Dalam artikel “The Problem With Positive Thinking” tertulis bahwa positive thingking menipu kita dengan membuat kita menganggap apa yang kita tujukan telah tercapai sehingga kita pun ‘puas’ terlalu dini dan melonggarkan usaha karenanya, contoh seperti pikiran; “ wah mantap lah, tinggal nunggu waktu aja, bentar lagi juga pasti berhasil, intinya gue positive thingking aja.”. Tidak jauh berbeda, di sana pun tertulis bahwa dengan menganjurkan agar setiap orang selalu berpikir realistis pun tidak membawa hasil yang lebih baik. –lah… terus gimana?­- Artikel tersebut menyajikan mental contrasting, cara berpikir hasil perpaduan antara berpikir positif dan berpikir realistis(khoirul umuuri awsatuha sebaik-baiknya perkara adalah apa yang ada di pertengahan…). Riset menunjukkan bahwa orang-orang yang melakukan ini memperoleh hasil yang lebih baik ketimbang mereka yang terpaku dengan positive thingking atau pun penganut realistis ‘garis keras’ (realistis aja dah, kapten marvel tuh sibuk lawan alien, lagi juga dia tuh perawan tua, jangan mau ama dia… contoh gabungan berpikir positif, realistis, marvelis, ngacois…).
Para backpacker dan pendaki berpengalaman secara sadar ataupun tidak tentu sudah terbiasa melakukan ini, mental contrasting bukanlah hal asing bagi mereka. Mereka mengkalkulasi setiap kemungkinan dari yang biasa sampai yang terburuk sekalipun sambil membayangkan akan betapa bahagianya mereka ketika sampai di puncak.  Barbara Ehrenreich di tahun 2008 menyalahkan krisis financial kepada para investor yang tidak mau menimbang kemungkinan-kemungkinan buruk atas investasinya(para investor ini hanya membayangkan keuntungan yang melimpah saja tanpa mau berpikir bahwa berinvestasi bisa juga merugi). Dalam sebuah penelitian dikemukakan bahwa dengan memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi dapat mengurangi kekhawatiran, dan orang-orang yang melakukan ini dapat mengatasi hal tersebut bila benar-benar terjadi. Tentu saja dengan memikirkan hal buruk yang mungkin saja terjadi kita dapat melakukan beberapa hal untuk mempersiapkan diri(man ‘arofa bu’da assafari ista’adda barang siapa yang mengetahui jauhnya perjalanan maka bersiap lah ia).  Tuh, para pendaki, backpacker, dan banyak investor saja sudah melakukannya, mengapa kita tidak?(padahal kalau dipikir-pikir perjalanan hidup kita lebih jauh dan panjang, hal-hal yang kita pertaruhkan pun lebih banyak).
Itu lah mengapa penulis secara pribadi lebih tertarik dengan filsafat stoa ketimbang prinsip-prinsip hidup lain seperti positive thinking
Terus apa sih dampak terburuk  yang bisa ditimbulkan positive thinking?
Terdapat tulisan yang mengemukakan bahwa penganut prinsip positive thingking bila tanpa diimbangi dengan prinsip hidup lainnya bisa berdampak fatal pada kesehatan. Dalam artikel “The Tyranny Of Positive Thingking Can Threaten Your Health”  tertulis bahwa berusaha berpikir positif bahkan dapat mengakibatkan depresi dan kegagalan dalam hidup. Hal ini dapat berlaku dalam kasus seseorang yang gagal mengikuti ujian kelulusan contohnya, ia terpuruk karena kegagalan tersebut, dan lebih terpuruk lagi karena ia merasa gagal tidak bisa berpikir positif pada hal itu(Karena prinsip hidup yg ia tahu hanya positive thingking ), dan hei…ternyata keterpurukan yang kedua dampaknya lebih merusak, ini bagaikan sudah jatuh tertimpa kerinduan pula… eh. Ini merupakan dampak terburuk yang bisa terjadi karena positive thingking yang tidak diimbangi dengan pemahaman cara hidup yang lain.

Terus intinya apa?

Intinya mah jangan gampang terbuai dengan tipuan angan-angan positive thingking. Kita harus menyisakan peran untuk pikiran-pikiran realistis.  Padukan keduanya, karena tidak bisa dipungkiri bahwa positive thinking pun memiliki sisi-sisi dimana kepositifannya mencair(anjay mencair, efek belum dapet gajih gini neh…).
Dan sepertinya penting untuk kita ketahui bersama bahwa ada kalanya anjuran berpikir positif tidak serta merta kita sampaikan kepada kawan kita yang sedang dilanda masalah. Kata-kata seperti “lu masih beruntung, masih ada yang lebih buruk dari ini, be positive” atau “mikir  positif aja pasti hiduplu kerasa lebih enteng” atau bisa seperti “kalau lu tetep positif semua masalah pasti selesai” memang bisa ampuh dalam beberapa kasus, namun bila kita serta merta melakukan ini  tanpa benar-benar memahami apa yang dirasakan oleh kawan kita justru hal ini dapat menyebabkan ia  merasa kecil dan tidak penting, ia merasa seolah-olah apa yang ia alami benar-benar ringan di mata orang lain. Pada 11 Februari 2019 lalu, dr. Jiemi Ardian, seorang residen psikiatri di RS Muwardi Solo, mengunggah pesan di akun Instagramnya tentang toxic positivity. Dalam unggahan tersebut, ia mendikotomi antara ekspresi-ekspresi empati dan ucapan yang mengandung toxic positivity (dorongan untuk selalu berpikir positif terus menerus tanpa mempertimbangan perasaan dan masalah lawan bicaranya).
Serius nih? ya kali ucapan penyemangat bisa jadi negatif?
Dalam artikel ”Toxic Positivity: Saat Ucapan Penyemangat Malah Terasa Menyengat”  tertulis bahwa 
Tidak semua orang butuh disemangati saat mereka bercerita soal perasaan negatif atau pengalaman buruknya,” papar Jiemi. “Sering kali, yang di sekeliling mereka mengatakan hal-hal yang seakan-akan positif, padahal bukan itu yang sedang dibutuhkan orang yang bermasalah.” 
Bila orang tersebut tetap mendapat doktrinan untuk berpikir positif terus menerus dengan perasaan ia yang masih kalut, bisa jadi dampak terburuk yang kita bahas tadi dapat terjadi, ia bisa saja menyalahkan dirinya karena tetap tidak bisa berpikir positif. Yang banyak tidak dihiraukan orang kebanyakan adalah bahwa orang-orang yang bermasalah seringkali membutuhkan tempat peluapan dan seseorang yang dapat mendengarkan dan memahami apa yang sedang dialaminya(bukan orang-orang yang sok empati dan taunya kata-kata bijak yang itu-itu aja). Jadi ada baiknya bila kita benar-benar memahami duduk persoalan terlebih dahulu dan memulainya dengan kata-kata seperti “kalo kaya gini kayanya susah ya liat hal-hal baik, gw coba pahamin kok apa yang lu alami…” atau “Wajar sih ya kalo kita kecewa…” atau bisa juga “gw yakin lu pasti tertekan banget ya sekarang…”. Hal-hal semacam ini tampaknya dapat lebih baik menghangatkan perasaan lawan bicara kita saat ia dirundung masalah.

Lalu bagaimana dengan konsep husnudzon?
Nah, coba kita ulas sedikit.

Konsep positive thinking/husnudzon dalam Islam itu mengandung pengertian bahwa segala sesuatu, baik buruk-nya adalah dari Allah dan pastinya mengandung hikmah. Setiap Muslim tidak boleh berpijak hanya pada kebaikan dan keburukan yang diterima atau menimpanya, akan tetapi mengambil hikmah dari balik keduanya.
Misalnya nih…
Dua orang pengusaha sama-sama berhusnudzon bahwa hasil usaha yg mereka jalankan dengan baik akan memberinya hasil yang melimpah dan berkah. Mereka berniat jika sukses nanti akan membeli mobil yang bisa digunakan untuk rekreasi keluarganya. Nyatanya, yang satu usahanya benar-benar sukses dan dapat mewujudkan cita-citanya. yang lain? usahanya merugi!, jangankan membeli mobil, usahanya bahkan bangkrut.
Jika keduanya berhusnudzon, maka yang pertama dia bersyukur atas kesuksesannya dan bersabar dengan menahan diri untuk tidak takabur. Sedangkan yang lain, dia tetap bersyukur juga karena ia yakin ini yang terbaik dari Allah, ia tetap berhusunudzon jika saja sukses dan membeli mobil bisa membuatnya takabbur dan bahkan mungkin saja mengakibatkan ia dan keluarganya kecelakaan, maka ia bersyukur untuk tidak menjadi sukses(berprasangka baik bahwa ini jalan dari Allah untuk membahagiakan keluarganya). Ia juga bersabar atas kenyataan yang secara lahir terlihat sebagai sebuah kegagalan, padahal di sisi lain bisa saja Allah sedang menyiapkan kesuksesan yang lebih besar. Kalau tidak di dunia ya di akhirat. Jadi bisa disimpulkan bahwa husnudzon selalu terkait dengan anjuran lain seperti bersabar, mengambil hikmah, dan bersyukur.
Jadi tidak ada yang salah dengan husnudzon atau positive thingking ala Islam. Kebaikan dan keburukan, kesuksesan dan kegagalan, keduanya bagi yang husnudzon akan tetap dihadapi dengan sikap syukur dan sabar.

Udah gitu aja, makasih udah baca, semoga bermanfaat.

Salam hangat
Sahabatmu, ar razy


Komentar

  1. MasyaAllah, keren bang Razi, jadi termotivasi nih, hehehe, alhamdulillah....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih kawan😁 blog ini trbuka buat tulisan siapapun kok, boleh lah kpn2 tulisan kamu yg d post👌

      Hapus

Posting Komentar

mari bercakap

Postingan Populer